Salah seorang
pendidik pernah berkata, “Pintu terbesar yang mudah dimasuki Yahudi ada dua,
yaitu dunia psikologi dan dunia pendidikan.”
Karena
itulah, berangkat dari hal ini.
Kita akan mengupas beberapa “kekeliruan” pada
buku-buku pendidikan, seminar, teori pendidikan, dll. Yang kadang sudah
menjangkiti beberapa pendidik muslim, para ayah dan ibu, yaitu melarang berkata
“Jangan” pada Anak.
Beberapa waktu lalu, saya sepakat dengan hal ini. Maka
dengan tertulisnya artikel ini, saya bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala
dari bahayanya doktrin di atas.
Mari kita
lihat, beberapa perkataan ‘dalam pendidikan’ tentang larangan mengucapkan kata
‘jangan’ pada anak, misalnya “.. gunakan kata-kata preventif, seperti
hati-hati,berhenti, diam di tempat, atau stop. Itu sebabnya kita sebaiknya
tidak menggunakan kata ‘jangan’ karena alam bawah sadar manusia tidak merespons
dengan cepat kata “jangan..”
Pada media
online detik.com, pernah tertulis artikel, ‘Begini Caranya Melarang Anak Tanpa
Gunakan Kata ‘Tidak’ atau ‘Jangan’, bertuliskan demikian: “..Tak usah bingung,
untuk melarang anak tak melulu harus dengan kata jangan atau tidak…” Pada
sebuah artikel lain, berjudul, “Mendidik Anak Tanpa Menggunakan Kata JANGAN”
tertulis, “Kata ‘jangan’ akan memberikan nuansa negatif dan larangan dari kita
sebagai orangtua, maka dari itu coba untuk mengganti dengan kata yang lebih
positif dan berikan alasan yang dapat diterima anak…” Nah, inilah
syubhat (keraguan/kerancuan).
Indah nampaknya, tapi di dalamnya terkandung
bahaya yang fatal. Mari kita bahas syubhat yang mereka gelontorkan. Sebelumnya,
kalau kita mau teliti, mari kita tanyakan kepada mereka yang melarang kata
‘jangan’, apakah ini punya landasan dalam Al-Qur’an dan hadits? Apakah semua
ayat di dalam al-Qur’an tidak menggunakan kata “Laa (jangan)”?
Mereka pun
mengatakan jangan terlalu sering mengatakan jangan. Sungguh mereka lupa bahwa
lebih dari 500 kalimat dalam ayat Al-Qur’an menggunakan kata “jangan”.
Allohu
Akbar, banyak sekali! Mau dikemanakan kebenaran ini?
Apa mau dibuang? Apa mau
lebih memilih teori-teori yang dhoif?
Kalau mereka
mengatakan kata jangan bukan tindakan preventif (pencegahan), maka kita tanya,
apakah Anda mengenal Luqman Al-Hakim? (Surah Luqman ayat 12 sampai 19).
Kisah ini
dibuka dengan penekanan Allah bahwa Luqman itu orang yang diberi hikmah, orang
arif yang secara tersirat kita diperintahkan untuk meneladaninya
(“walaqod
ataina luqmanal hikmah….” . dst).
Apa bunyi ayat yang kemudian muncul? Ayat 13
lebih tegas menceritakan bahwa Luqman itu berkata kepada anaknya, “Wahai anakku.
JANGANLAH engkau menyekutukan Allah.
Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar”.
Inilah bentuk
tindakan preventif yang sangat tegas dalam al-Qur’an.
Sampai pada ayat 19, ada
4 kata “laa” (jangan) yang dilontarkan oleh Luqman kepada anaknya, yaitu “laa
tusyrik billah”, “fa laa tuthi’humaa”, “Wa laa tusha’ir khaddaka linnaasi”, dan
“wa laa tamsyi fil ardli maraha”.
Luqman tidak
perlu mengganti kata “jangan menyekutukan Allah” dengan (misalnya) “esakanlah
Allah”. Pun demikian dengan “Laa” yang lain, tidak diganti dengan kata-kata
kebalikan yang bersifat anjuran.
Mengapa
Luqmanul Hakim tidak menganti “jangan” dengan “diam/hati-hati”? Karena ini
bimbingan Alloh. Perkataan “jangan” itu mudah dicerna oleh anak, sebagaimana
penuturan Luqman Hakim kepada anaknya.
Dan perkataan
“jangan” juga positif, tidak negatif.
Ini semua bimbingan dari Alloh Subhanahu
wa ta’ala, bukan teori pendidikan Yahudi.
Adakah
pribadi psikolog atau pakar parenting pencetus aneka teori ‘modern’ yang
melebihi kemuliaan dan senioritas Luqman? Tidak ada.
Luqman bukan nabi, tetapi
namanya diabadikan oleh Allah
dalam Kitab suci karena ketinggian ilmunya.
Dan
tidak satupun ada nama psikolog yang kita temukan dalam kitabullah itu.
Membuang kata
“jangan” justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia
tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang dalam
agama, tetapi karena lebih memilih berdamai.
Ia tidak sombong bukan karena
kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih
aman baginya.
Dan kelak, ia
tidak berzina bukan karena takut adzab Alloh, tetapi karena menganggap bahwa
menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya.
Nas alulloha
salaman wal afiyah. Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya
“sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli
melihat kemaksiatan bertebaran, tidak perhatian lagi dengan amar ma’ruf nahi
mungkar, tidak ada lagi minat untuk mendakwahi manusia yang dalam kondisi
bersalah, karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak
demikian”.
Mereka
bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu,
yang penting saya tidak melakukannya”.
Itulah sebenar-benar paham liberal, yang
‘humanis’, toleran, dan menghargai pilihan-pilihan.
Jadi, bila
kita yakini dan praktikkan teori parenting barat itu, maka sesungguhnya kita
bersiap anak-anak kita tumbuh menjadi generasi liberal.
Haruskah kita simpan
saja Al-Qur’an di lemari paling dalam, dan kita lebih memilih
teori2 yahudi?
Astagfirulloh!
[Rujukan:
Al-Qur’an, Akh Budi, Akh Yazid (Abu Hanin)
Syahadat
diawali kata tidak. Nasehat Luqman menggunakan kata yang
sama dengan makna
jangan. Ada ribuan kata bermakna tidak/jangan dalam Al-Qur’an.
Tapi jika
kita cuma mengetik bahasa Endonesiyah “jangan” di Al-Qur’an for android,
ketemunya cuma sekitar 360 Saya pernah membahas ini di buku
Saat Berharga untuk
Anak Kita.
Di luar itu,
jika kita seorang guru, salah satu hal penting untuk keberhasilan
kelas adalah
manajemen kelas. Dan urutan pertama dalam manajemen kelas
adalah Aturan &
Prosedur yang isi pokoknya Larangan dan Perintah.
Jangan Lupa
Menyebarkannya, Sebagai Bahan Renungan Bersama