Apakah Seseorang yang telah meninggal dunia masih dapat memperoleh tambahan pahala dalam buku catatan amal kebajikannya..???
Seseorang yang telah meninggal dunia masih dapat memperoleh tambahan pahala dalam buku catatan amal kebajikannya, walaupun ia sendiri sudah tidak bisa beramal lagi. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah karena sedekah jariyah yang ia lakukan semasa hidup, ilmu yang pernah ia ajarkan kepada sesorang atau doa yang selalu dipanjatkan oleh anaknya yang saleh. Para pengamal tahlilan sangat mempercayai dan meyakini hal ini. Sayangnya ada kelompok tertentu yang memaksakan pendapatnya dan menyatakan bahwa seseorang tidak akan bisa mendapat manfaat kecuali atas apa yang telah ia usakan sendiri. Mereka berdalih dengan wahyu Allah dalam surat An-Najm ayat 39 dan hadits tentang tiga amal yang pahalanya terus mengalir. Dalam surat An-Najm 39 Allah mewahyukan:
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(An-Najm, 53:39)
Bersenjatakan ayat diatas mereka menyatakan seseorang hanya akan mendapat manfaat dari apa yang ia usahakan sendiri, ia tidak bisa mendapat tambahan pahala dari amal orang lain, tidak bisa mendapat kiriman pahala dan sejenisnya. Benarkah maksud ayat diatas seperti yang mereka sampaikan?
Ternyata tidak. Sayidina Ibnu Abbas r.a, sepupu Nabi saw yang mendapatkan doa langsung dari Rasulullah saw agar memperoleh kemampuan untuk menafsirkan AlQUran menyatakan bahwa ayat 39 surat An-Najm diatas telah di mansukh (dihapuskan hukumnya) oleh ayat 21 Surat Thur yang artinya :
“Dan orang orang yang bermian yang diikuti oleh keturunannya dengan keimanan, Kami hubungkan (kumpulkan) keturunannya itu dengan mereka (di dalam surga); dan Kami (dengan itu) tidak mengurangi sedikitpun dari pahala amal-amal mereka.”
(Thur,52:21)20
Dalam surat Thur ayat 21 diatas Allah menyatakan bahwa anak cucu yang mengikuti leluhurnya dengan keimanan akan diletakkan di tempat yang sama meskipun tidak memiliki bekal amal yang sama. Mereka mendapat kedudukan yang tinggi berkat amal orang tuanya (leluhurnya).
Di samping itu ayat 39 surat An-Najm diatas turun untuk menjelaskan syariat Nabi Musa dan Ibrahim. Agar lebih jelas perhatikan beberapa ayat sebelumnya. :
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang terdapat dalam lembaran-lembaran Musa, dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janjinya,(yaitu) bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(An-Najm, 53:36-39)
Dalam syariat kedua Nabi tersebut, seseorang hanya akan mendapatkan pahala dari amalnya sendiri, lain halnya dengan syariat Nabi Muhammad saw. Dalam syariat Nabi Muhammad saw, umat Islam bisa mendapatkan pahala amal mereka dan juga pahala amal orang lain yang diniatkan untuk mereka, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Ikrimah.21
Ar Rabi bin Anas juga menyatakan bahwa ayat diatas (An-Najm:39) ditujukan untuk orang kafir. Di dunia ini mereka akan mendapatkan balasan atas amal baik mereka, sehingga di akhirat nanti sudah tidak memiliki kebaikan lagi. 22
Dengan demikian jelas sudah, bahwa seseorang bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain.
Adapun hadits tentang tiga amalan yang pahalanya terus mengalir sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya berikut :
“Jika sesorang manusia meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali dari tiga hal, yaitu dari sedekah jariyahm atau ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.”
(HR Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Dawud, Ahmad dan Darimi)
Jika kita perhatikan dengan baik, sebenarnya dalam hadits diatas tidak pernah disebutkan bahwa seseorang tidak bisa menerima ‘kiriman ‘ pahala dari orang lain. Lalu bagaimana sesorang bisa menjadikan hadits tersebut sebagai dasar untuk membantah sampainya pelimpahan pahala dari seseorang yang masih hidup kepada orang lani yang telah meninggal dunia?
Jika kita perhatikan dengan baik, sebenarnya hadits itu hanya mengatakan bahwa pahala amal sesorang itu terputus begitu dia meningggal. Jika selama ini di shalat, maka begitu meninggal, dia tidak bisa shalat, maka pahalanya terhenti dengan kematiannya. Kalau selama ini dia puasa, maka saat wafat, tidak ada lagi pahala yang akan didapat. Kalau selama ini dia zakat atau haji, tidak ada lagi pahala yang bisa diraih dari ibadah ibadah tersebut. Sebab mana mungkin dia masih bisa beramal sedangkan ia sudah meninggal dunia dan mayat tidak mungkin melakukan amal ibadah. Dengan adanya kewafatan, maka semua amal seseorangpun akan terputus.
Kendati demikian, Rasulullah saw ingin memberitahukan bahwa masih ada jenis ibadah yang apabila dikerjakan oleh seorang muslim, maka meskipun ia sudah wafat, pahala ibadah itu akan terus mengalir kepadanya. Mengapa bisa demikian? Kita bisa mengibaratkan jenis ibadah dan pahala itu seperti orang yang bekerja kemudian mendapat gaji bulanan dan orang yang punya saham di suatu perusahaan. Sebagai yang digaji, bila sudah berhenti kerja, tentu ia tidak akan menerima gaji lagi. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan seseorang yang memiliki saham di perusahaan tersebut. Walaupun sudah tidak bekerja tetapi dia akan tetap mendapatkan bagi hasil dari perusahaannya itu selama ia belum menjual sahamnya dan selama perusahaan itu belum bubar. Shalat, puasa, zakat, haji dan berbagai ibadah lainnya dapat diibaratkan seperti karyawan yang mendapatkan gaji tadi, sedangkan tiga amal yang disebutkan dalam hadits diatas dapat diibaratkan dengan seseorang yang memiliki saham di dalam sebuah perusahaan. Sehingga meski yang bersangkutan tidak bekerja setiap hari, tetapi ia tetap mendapatkan bagi hasil secara terus menerus. Tiga amal itu adalah sedekah jariyah, memiliki anak saleh yang mendoakan dan pernah mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain.
Sedekah jariyah, biasanya berbentuk harta yang diwaqafkan. Misalnya sesorang memiliki sawah seluas 1.000 hektar dan diwaqafkan semua hasli panennya untuk fakir miskin. Selama sawah itu masih memberikan pemasukan meski ia sudah meninggal, pahalanya akan tetap diterima di alam kubur.
Anak yang saleh, sesorang yang memiliki anak kemudian didiknya hingga menjadi anak yang saleh, maka setiap kali sang anak beramal saleh, orang tuanya akan ikut menikmati hasil pahalanya juga, tanpa mengurangi pahala si anak itu sendiri. Kendati doa anak yang saleh disebut secara khusus dalam hadits diatas, akan tetapi bukan berarti bahwa hanya doa anak yang saleh yang diterima dan bisa sampai kepada orang yang telah meninggal dunia. Pengertiannya adalah bahwa dari berbagai orang, maka doa anaklah yang paling utama. Sebab, antara anak dan orang tua, memiliki hubungan batin yang teramat kuat. Seorang anak yang baik pasti akan memanjatkan doa untuk kebahagiaan orang tuanya di alam barzakh dengan ikhlas. Doa yang dipanjatkan oleh yang selain anak, tentu saja tetap diterima Allah dan bahkan bisa menambah kenikmatan di dalam kubur. Bukankah yang disyariatkan untuk menshalatkan jenazah itu tidak terbatas hanya pada anak saja? Bukankah setiap muslim berhak dan diperkenankan menshalatkan jenazah muslim lainnya meski tidak saling mengenal? Dan bukankah kita dianjurkan untuk mengucapkan salam ketika berziarah kubur. Dan salam adalah doa keselamatan yang kita minta kepada Allah untuk orang yang kita berikan salam. Padahal yang kita beri salam itu sudah wafat dan berada di alam kubur. Semua ini membuktikan bahwa doa seseorang yang masih hidup kepada yang telah meninggal dunia memang disyariatkan dan akan dikabulkan Allah swt.
Jika berdasar hadits di atas kemudian seseorang memaksakan pendapatnya dan menyatakan bahwa doa anak saja yang bakal diterima dan bermanfaat bagi orang tuanya, maka bagaimana ia akan menjawab berbagai hadits yang menjelaskan peran doa seorang muslim bagi saudaranya yang telah meninggal dunia, semisal shalat jenazah dan lain sebagainya? Jika hanya doa anak saleh yang diterima, maka seharusnya shalat jenazah itu tidak sah dilakukan kecuali istri dan sanak kerabat, semuanya tidak perlu menshalatkan jenazahnya karena tidak akan ada gunanya. Tentu tidak demikian bukan? Karena itu dalam memahami secara benar hadits diatas, bukanlah pada pembatasan siapa yang boleh mendoakan, melainkan menunjukkan bahwa doa anak yang saleh memiliki tingkat keutamaan tertinggi dibandingkan doa yang lain. Sebab, anak yang saleh merupakan hasil kerja keras orang tuanya dan pada umumnya sang anak akan mendoakan orang tuanya dengan tulus melebihi orang lain.
Sampailah kita pada kesimpulan bahwa doa dari sesorang yang masih hidup untuk orang lain yang telah meninggal dunia akan diterima Allah swt, dan ini tidak terbatas hanya doa dari anak yang saleh saja. Karena hadits diatas tidaklah dalam posisi untuk membatasi sampainya doa dari orang yang masih hidup kepada orang yang sudah wafat.
Saudaraku, setelah menyimak berbagai dalil diatas, kita tidak perlu lagi terjerumus dalam perdebatan yang membosankan dan tak berujung. Jika kita rasa dalil dalil itu telah cukup, maka segera amalkan. Bantulah saudara saudara kita yang berada di kubur, di alam Barzakh, dengan mengirimkan doa doa kita kepada mereka dan bersedekah atas nama mereka.
Ibnu Abbas r.a menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah saw dan mengatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia, lantas apakah ibunya akan mendapatkan manfaat jika dia bersedekah atas namanya? Pada saat itu Rasulullah saw menjawab "Ya (bermanfaat baginya)". Kemudian lelaki itu menyedekahkan kebunnya atas nama ibunya dengan disaksikan oleh Rasulullah saw.
( HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad )
Dalam Sahih Muslim, Sayidah Aisyah r.a menceritakan bahwa ada seorang wanita menemui Nabi saw dan berkata,
"Wahai Rasulullah saw, ibuku meninggal secara mendadak dan dia tidak mewasiatkan sesuatu. Sepengetahuanku, andaikata masih dapat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah ibuku akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas namanya?" Rasulullah saw menjawa "Ya"
(HR Muslim)
Dalam hadits diatas, jelas bahwa Rasulullah saw mengizinkan dan menyatakan bahwa pahala sedekah anak untuk orang tuanya yang telah meninggal dunia, akan dicatat sebagai pahala sedekah orang tuanya pula.
Shalat jenazah juga membuktikan bahwa seseorang bisa mendapatkan tambahan pahala dan ampunan berkat orang lain. Sebagaimana kita ketahui, setiap kali ada seorang muslim yang meninggal dunia, sebagian dari kita diwajibkan untuk menshalatkannya (fardu kifayah). Shalat jenazah merupakan salah satu bentuk doa dan permohonan ampunan yang kita persembahkan kepada saudara saudara kita yang telah meninggal dunia yang jasadnya sedang dishalatkan. Kalau amal orang lain tidak bermanfaat buat jenazah, maka bukankah seharusnya tidak ada syariat shalat jenazah?
Coba perhatikan salah satu doa shalat jenazah yang diajarkan oleh Rasullah saw di bawah ini.
"Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air, es dan embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, berilah ia tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka."
( HR Muslim )
Adapun manfaat shalat jenazah bagi yang meninggal dunia telah disebutkan oleh Rasulullah saw dalam berbagai sabdanya, diantaranya adalah sebagai berikut :
“Setiap muslim yang meninggal dunia dan kemudian dishalatkan oleh tiga shaf muslimin, maka ia mendapat ampunan dan surga Allah.”
(HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
“Setiap mayat yang dishalatkan oleh umat Islam yang jumlahnya mencapai 100 orang dan semuanya berdoa untuknya, niscaya doa (syafa’at) mereka untuknya diterima.”
(HR Muslim, Nasai dan Ahmad)
“Setiap muslim yang meninggal dunia dan dishalatkan oleh 40 orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka doa (syafa’at) mereka untuknya diterima Allah.”
(HR Abu Dawud dan Ahmad)
Beberapa hadits diatas dengan jelas menyebutkan bahwa jenazah tersebut mendapat manfaat dari shalat dan doa umat Islam yang masih hidup.
Bahkan ia mendapatkan ampunan dan surga.
Kesalehan orang tua ternyata akan sangat bermanfaat untuk anak keturunannya di akhirat nanti. Terkadang seseorang mendapatkan kedudukan tinggi di surga bukan karena amal salehnya, akan tetapi karena jasa orang tuanya atau amal saleh leluhurnya. Allah swt telah mewahyukan :
“Dan orang orang yang beriman yang diikuti oleh keturunnnya dengan keimanan, Kami hubungkan (kumpulkan) keturunanya itu dengan mereka (di dalam surga) dan (dengan itu) tidak sedikitpun Kami kurangi pahala amal amal mereka.
(Thur,52:21)
Seorang anak yang meninggal di waktu kecil, yang sama sekali belum memiliki amal, kelak di hari kiamat akan diletakkan dalam timbangan ayahnya.
Orang tua akan memberikan syafaat kepada anak keturunnnya dan sebaliknya, anak akan memberikan syafaat kepada orang tuanya (leluhurnya).
Kita tidak tahu, siapa di antara kita yang kelak di akhirat lebih banyak manfaatnya, orang tua atau anak.
Allah mewahyukan :
“(Tentang) orang tua kalian dan anak anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat ( yang lebih banyak) manfaatnya untuk kalian.”
(An-Nisa,4:11)23
20. Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al Jami u Li Ahkamil Quran, juz 17, Darul Ihyait Turatsil Arabi, hal 114.
21. Lihat Abu Muhammad Al Husain bin Mas'ud Al-Farra Al-Baghawi, Ma'alimut Tanzil, Juz 5, Darul Fikr, 1985, hal. 255.
22. Lihat Abu Muhammad Al-Husain bin Mas'ud Al-Farra Al-Baghawi, Ma'alimut Tanzil, Juz 5, Darul Fikr, 1985, hal. 255.
23. Lihat Abu Abdillah Muhamad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al Jami u Li Ahkamil Quran, juz 17, Darul Ihyait Turatsil Arabi, hal 114.
Sumber : http://kyaijawab.com