Selasa, 27 Agustus 2013

Shallu ‘Alan Nabiy

Apa yang Anda fikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir 
dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak  
seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. 
Ia produk ta’dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari 
dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan 
namanya, saat muadzin mengumandangkan suara adzan.


Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. 
Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap 
kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. 
Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah. 
Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. 
Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian. Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan: Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka tegakkan hukum atasnya. 
Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”

Hari-hari penuh kerja dan intaian bahaya. 
Tapi tak menghalanginya untuk –lebih dari satu dua kali- berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Asshiddiq. 
Lambang kecintaan, paduan kecerdasan, dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Asshiddiq, sesuai dengan namanya “si Benar”. 

Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. 
Setiap kali para sahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab:

 “Labbaik”. 

Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima 
dalam status dan kualitasnya sebagai “orang rumah”.
Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia. 

“Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku.” 

“Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina 
perempuan kecuali seorang hina.” demikian pesannya.

Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. 
Padahal, masa antara dua petempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. 
Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. 

Para sahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. 

Sabdanya kepada mereka : “Jangan, biarkan ia menyelesaikan hajatnya.” Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan tersenyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.
Ia kerap bercengkerama dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain 
dengan anak-anak, Bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. 
Ia terima undangan mereka: yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit jauh di ujung Madinah. 

Ia terima permohonan maaf orang.
Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. 

Tak pernah menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. 

Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). 
Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. 

Apabila seseorang mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.
Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: 

“Seandainya ada seorang saleh mau mengawalku malam ini”. 

Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal kemahnya. 
Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. 
Para sahabat bergegas ke sumber suara.

 Ternyata ia telah ada disana mendahului mereka, tegak diatas kuda tanpa pelana, “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Ummul Mukminin Aisyah ra. berkata: 

“Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan makhluk hidup, selain setengan ikat gandum di penyimpananku. 

Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang 
Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.”

Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian
 tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, 
“Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah.”

Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar 
pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya 
sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. 

Ia tidak mabuk kemenangan.
Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucap shalawat atasnya: 

“Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan ditolak 
dan aku menyimpannya untuk umatku kelak di padang mahsyar nanti.”

Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. 

Ia menolak, “Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan di sulbi mereka kelak akan menerima dakwah ini, mengabdi kepada 
Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya. 
Pertama, Allah, sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. 

Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, sahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.
Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? 

Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan para malaikan bershalawat atasnya (QS.Al Ahzab: 56), justru Ia nyatakan dengan begitu “vulgar” perintah tersebut, 

“Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan 
bersalamlah dengan sebenar-benar salam.”

Allahumma shalli ‘alaihi wa’ala aalih! 

(KH. Rahmat Abdullah)


Sumber: http://www.dakwatuna.com/