Di masa Rosulullah sholallahu alaihi wasalam
Batu Hajar Asward berupa satu bongkahan besar.
Tapi mengapa sekarang hanya tinggal berupa beberapa bongkahan kecil ..?
Berikut adalah Sejarah Batu Hajar asward menjadi beberapa bongkahan kecil
Kota Mekah, dengan kemuliaan yang disandangnya, ia memiliki
hukum-hukum yang telah ditetapkan syariat, sebagai bukti
yang menunjukkan kemuliaannya.
Siapa pun dilarang melakukan perbuatan maksiat.
Meski larangan ini telah jelas, ternyata dalam perjalanan sejarah
kaum Muslimin, khususnya kota Mekah dan Ka’bah, pernah terjadi
pelanggaran yang sangat memilukan dan menodai Ka’bah
secara khusus, yaitu terjadinya penjarahan Hajar Aswad.
Hajar Aswad merupakan batu termulia.
Dia berasal dari Jannah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Hajar Aswad turun dari surga, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air susu.
Kemudian, dosa-dosa anak Adam-lah yang membuatnya sampai berwarna hitam.”
[Hadits shahih riwayat at Tirmidzi. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877].
Tentang keutamaannya yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya batu ini akan punya lisan dan dua bibir akan bersaksi bagi orang yang menyentuhnya di hari Kiamat dengan cara yang benar.”
[HR al Hakim dan Ibnu Hibban Lihat Shahihul-Jami', no. 2184.].
Dari Ibnu ‘Umar, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani)
akan menghapus dosa.”
[ Hadits shahih riwayat an Nasaa-i Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919].
Hajar Aswad, dahulu berbentuk satu bongkahan.
Namun setelah terjadinya penjarahan yang terjadi pada tahun 317H, pada
masa pemerintahan al Qahir Billah Muhammad bin al Mu’tadhid dengan
cara mencongkel dari tempatnya, Hajar Aswad kini menjadi delapan bongkahan kecil.
Batu yang berwarna hitam ini berada di sisi selatan Ka’bah.
Adalah Abu Thahir, Sulaiman bin Abu Said al Husain al Janabi, tokoh
golongan Qaramithah pada masanya, telah menggegerkan dunia Islam
dengan melakukan kerusakan dan peperangan terhadap kaum Muslimin.
Kota yang suci, Mekah dan Masjidil Haram tidak luput dari kejahatannya.
Dia dan pengikutnya melakukan pembunuhan, perampokan dan merusak
rumah-rumah. Bila terdengar namanya, orang-orang akan berusaha
lari untuk menyelamatkan diri
[Al Bidayah wan Nihayah, 11/187].
Kisahnya, pada musim haji tahun 317H tersebut, rombongan haji
dari Irak pimpinan Manshur ad Dailami bertolak menuju Mekah dan sampai
dalam keadaan selamat. Namun, tiba-tiba pada hari
Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah), orang-orang Qaramithah
(salah satu sekte Syiah Isma’iliyah) melakukan huru-hara di tanah Haram.
Mereka merampok harta-harta jamaah haji dan menghalalkan untuk memeranginya.
Banyak jamaah haji yang menjadi korban, bahkan, meskipun
berada di dekat Ka’bah.
Sementara itu, pimpinan orang-orang Qaramithah ini, yaitu
Abu Thahir –semoga mendapatkan balasan yang sepadan dari
Allah– berdiri di pintu Ka’bah dengan pengawalan, menyaksikan
pedang-pedang pengikutnya merajalela, menyudahi nyawa-nyawa manusia.
Dengan congkak nya ia berkata :
“Saya adalah Allah. Saya bersama Allah.
Sayalah yang menciptakan makhluk-makhluk.
Dan sayalah yang akan membinasakan mereka”.
Massa berlarian menyelamatkan diri.
Sebagian berpegangan dengan kelambu Ka’bah.
Namun, mereka tetap menjadi korban, pedang-pedang
kaum Syi’ah Qaramithah ini menebasnya.
Begitu juga, orang-orang yang sedang thawaf, tidak luput dari
pedang-pedang mereka, termasuk di dalamnya sebagian ahli hadits.
Usai menuntaskan kejahatannya yang tidak terkira terhadap
para jamaah haji, Abu Thahir memerintahkan pasukan untuk
mengubur jasad-jasad korban keganasannya tersebut ke dalam sumur Zam Zam.
Sebagian lainnya, di kubur di tanah Haram dan di lokasi Masjidil Haram.
Kubah sumur Zam Zam ia hancurkan.
Dia juga memerintahkan agar pintu Ka’bah dicopot dan melepas kiswah nya.
Selanjutnya, ia merobek-robek nya di hadapan para pengikutnya.
Dia meminta kepada salah seorang pengikutnya untuk naik ke atas Ka’bah
dan mencabut talang Ka’bah. Namun tiba-tiba, orang tersebut terjatuh dan mati seketika.
Abu Thahir pun mengurungkan niatnya untuk mengambil talang Ka’bah.
Kemudian, ia memerintahkan untuk mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya.
Seorang lelaki memukul dan mencongkelnya.
Dengan nada menantang, Allah..!! Abu Thahir sesumbar :
“Mana burung-burung Ababil? Mana bebatuan dari Neraka Sijjil?”
Peristiwa penjarahan Hajar Aswad ini, membuat Amir Mekah dan keluarganya dengan didukung sejumlah pasukan mengejar mereka.
Amir Mekah berusaha membujuk Abu Thahir agar mau mengembalikan
Hajar aswad ke tempat semula.
Seluruh harta yang dimiliki Sang Amir telah ia tawarkan untuk menebus
Hajar Aswad itu. Namun Abu Thahir tidak bergeming.
Bahkan Sang Amir, anggota keluarga dan pasukannya menjadi korban berikutnya.
Abu Thahir pun melenggang menuju daerahnya dengan membawa
Hajar Aswad dan harta-harta rampasan dari jamaah haji.
Batu dari Jannah ini, ia bawa pulang ke daerahnya, yaitu Hajr (Ahsa), dan
berada di sana selama 22 tahun.
Menurut Ibnu Katsir, golongan Qaramithah membabi buta semacam itu, karena
mereka sebenarnya kuffar zanadiqah.
Mereka berafiliasi kepada rezim Fathimiyyun yang telah menancapkan
hegemoninya pada tahun-tahun itu di wilayah Afrika.
Pemimpin mereka bergelar al Mahdi, yaitu Abu Muhammad ‘Ubaidillah
bin Maimun al Qadah.
Sebelumnya ia seorang Yahudi, yang berprofesi sebagai tukang emas.
Lantas, mengaku telah masuk Islam, dan
mengklaim berasal dari kalangan syarif (keturunan Nabi Muhammad).
Banyak orang dari suku Barbar yang mempercayainya.
Hingga pada akhirnya, ia dapat memegang kekuasaan sebagai
kepala negara di wilayah tersebut.
Orang-orang Qaramtihah menjalin hubungan baik dengannya.
Mereka (Qaramithah) akhirnya menjadi semakin kuat dan terkenal.
Perbuatan Abu Thahir al Qurmuthi, orang yang
memerintahkan penjarahan Hajar Aswad ini,
Oleh Ibnu Katsir dikatakan :
“Dia telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil Haram, yang
tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya”.
[Al Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu Katsir mengisahkan peristiwa ini di halaman 190-192].
Setelah masa 22 tahun Hajar Aswad dalam penguasaan
Abu Thahir, ia kemudian dikembalikan.
Tetapnya pada tahun 339H.
Pada saat mengungkapkan kejadian tahun 339 H, Ibnu Katsir menyebutnya
sebagai tahun berkah, lantaran pada bulan
Zulhijah tahun tersebut, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula.
Peristiwa kembalinya Hajar Aswad sangat menggembirakan segenap kaum Muslimin.
Pasalnya, berbagai usaha dan upaya untuk mengembalikannya sudah dilakukan.
Amir Bajkam at Turki pernah menawarkan 50 ribu Dinar sebagai tebusan Hajar Aswad.
Tetapi, tawaran ini tidak meluluhkan hati Abu Thahir, pimpinan Qaramithah saat itu.
Kaum Qaramithah ini berkilah:
“Kami mengambil batu ini berdasarkan perintah, dan akan
mengembalikannya berdasarkan perintah orang yang bersangkutan”.
Pada tahun 339 H, sebelum mengembalikan ke Mekah, orang-orang
Qaramithah mengusung Hajar Aswad ke Kufah, dan menggantungkannya
pada tujuh tiang Masjid Kufah. Agar, orang-orang dapat menyaksikannya.
Lalu, saudara Abu Thahir menulis ketetapan :
“Kami dahulu mengambilnya dengan sebuah perintah.
Dan sekarang kami mengembalikannya dengan perintah juga, agar
pelaksanaan manasik haji umat menjadi lancar”.
Akhirnya, Hajar Aswad dikirim ke Mekah di atas satu tunggangan tanpa ada halangan.
Dan sampai di Mekah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 339H
[Al Bidayah wan Nihayah, 11/265].
Dikisahkan oleh sebagian orang, bahwa pada saat
penjarahan Hajar Aswad, orang-orang Qaramithah terpaksa mengangkut
Hajar Aswad di atas beberapa onta.
Punuk-punuk onta sampai terluka dan mengeluarkan nanah.
Tetapi, saat dikembalikan hanya membutuhkan satu tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal aneh dalam perjalanan.
Sumber :
- Shahih Bukhari, al Imam al Bukhari, Darul Arqam, Beirut, tanpa tahun.
- Shahih Muslim, Syarhun-Nawawi, Darul Ma’rifah, Beirut, Cet. VI, Th. 1420 H.
- Ihkamil-Ahkam Syarhu ‘Umdatil-Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, tahqiq
Hasan Ahmad Dar Ibni Hazm Cet. I, Th. 1423 H.
- Al Bidayah wan-Nihayah, al Imam Imaduddin
Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Darul Ma’rifah, Cet. VI, Th. 1422 H.
- Wamdhul-‘Aqiq min Makkata wal-Baitil ‘Aqiq, Muhammad ‘Ali Barnawi,
Mekah
Mukaramah, Cet. I. Th. 1425 H.
- Shahih Sunan at-Tirmidzi, Maktabah al Ma’arif.
- Shahih Sunan an-Nasai.
- Taisiril Karimir-Rahman, Abdur Rahman as Sa’di, Muassasah Risalah, Cet. I, Th. 1423H.
- Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq Abdur Razaq al Mahdi, Darul Kitabil-‘Arabi, Cet. II, Th. 1420 H.